Pagi yang cerah, udara sejuk Kota Jambi tanpa polusi
berhembus lembut masuk ke dalam kamar Rina ketika ia membuka jendela kamarnya
di lantai dua. Burung-burung berkicauan merdu, mentari pagi menambahkan hangat
jiwanya yang bahagia karena hari ini adalah hari ulang tahunnya. Rina mencoba
menghirup udara dalam-dalam kemudian menghembuskannya kembali. Dia bergegas
menuju kamar mandi dengan girangnya sambil bersenandung. Setelah itu, dia
segera mandi dan bersiap-siap pergi ke sekolah.
“Pagi, Non. Selamat ulang tahun ya, Non.” Sambut bibi saat
Rina duduk di meja makan.
”Makasih, Bi. Oh iya, mama sama papa dimana, Bi?” Tanya
Rina dengan muka keheranan.
“Oh itu, Non. Nyonya sama Tuan sudah berangkat ke
Malaysia tadi pagi. Trus, nitipin surat sama Nona.” Jawab Bibi.
Hati Rina yang tadinya sangat cerah langsung berubah
menjadi kelam seperti awan yang mendung. Dia perlahan-lahan membuka surat
tersebut.
Rina, selamat ulang
tahun ya, Nak. Semoga panjang umur. Maaf, mama tidak bisa hadir dalam hari
ulang tahunmu ini. Mohon Rina memakluminya. Dan jangan lupa untuk minum obatnya
ya.
Salam
cinta
Mom
Hati Rina
sangat teriris-iris saat membaca surat itu. Matanya berkaca-kaca. “Bisa-bisanya
mama lebih mementingkan pekerjaan daripada aku.” Lirihnya dalam hati. Rina
langsung merobek-robek surat itu dan berlari keluar rumah.
“Selamat
pagi, Non.” Sapa Pak Jamal-supir yang sudah 10 tahun bekerja dengan papa rina.
“Langsung ke
sekolah aja, Pak.’ Kata Rina dengan nada kesal.
Sesampainya
di sekolah, Rina langsung disambut dua sahabatnya-Riska dan Sonia.
“Happy Birthday, Rina.” Sambut mereka
dengan membawa kue coklat yang besar.
Rina yang
tadinya sangat terluka, kini sedikit terobati dengan adanya dua sahabatnya.
“Terima kasih teman, karena kalian mewarnai hidupku yang singkat ini.” Batinnya
dalam hati.
Rina sudah
mengidap kanker selama dua tahun dan kata dokter hidupnya hanya tinggal
beberapa bulan lagi. Namun, ia tetap optimis bahwa setiap masalah pasti ada
jalan keluarnya.
Bel masuk
pun berbunyi, anak-anak kelas XII IPA-1 segera masuk ke kelas. Kelas yang bisa
dibilang executive ini tertata rapi,
bersih, dan nyaman dilihat. Namun, di kelas inilah Rina menghabiskan sisa
hidupnya yang singkat. Rina sebenarnya anak yang cantik dan pintar, namun
karena dia mengidap leukemia badannya semakin kurus dan konsentrasi belajarnya
kurang. Dia juga harus selalu membawa tisu ke kelas karena darah selalu
bercucuran dari hidungnya dan itupun tidak tahu kenapa bisa terjadi.
Tidak
terasa, bel istirahat pun berbunyi. Rina keluar kelas menuju mushalla di belakang
sekolah. Sudah menjadi kebutuhannya melaksanakan shalat Dhuha. Rina sangat
berharap keajaiban datang menghampirinya dan Allah memberikan kesempatan kedua
untuk hidup baginya.
Waktu
istirahat pun berakhir, Rina bergegas menuju kelasnya. Dengan muka heran Rina
masuk ke kelas. Perlahan-lahan dia berjalan menuju bangkunya dan pandangannya
terfokus pada sesosok wajah yang sangat asing baginya yang duduk di samping
bangkunya. Wajahnya asing, namun sangat teduh dan menyejukkan hati. ”Siapakah
dia?” Tanya Rina dalam hati. Sesampainya di depan bangku, dia menyapa Rina.
“Hai,
perkenalkan nama saya Ihsan. Saya murid baru disini. Saya pindahan dari SMA 1
kota Jambi. Karena tidak ada bangku yang kosong lagi, saya duduk disini. Boleh,
kan?” Tanyanya dengan senyum yang mengembang.
“Oh tentu,
nama saya Rina.” Jawab Rina singkat.
Dan akhirnya
pembicaraan mereka harus berakhir saat Miss Ratna masuk.
Pukul 13.00
wib, bel pulang berbunyi. Semua siswa SMA 3 kota Jambi berhamburan keluar kelas
dengan wajah yang ceria. Tidak terkecuali Riska dan Sonia, mereka langsung
menghampiri Rina yang baru keluar kelas.
“Hai, Rin.
Kamu sebangku ya sama cowok pindahan itu?” Tanya Riska.
“Iya,
memangnya kenapa?” Tanya Rina balik.
Riska dan
Sonia sontak langsung menjerit. “Tau nggak, dia itu ganteng banget tau.” Sebut
Sonia.
Rina hanya
dapat tersenyum melihat tingkah dua sahabatnya itu.
“Rina…..” tiba-tiba
seseorang memanggil Rina dari arah belakang. Rina menoleh, “Oh, Ihsan…ada apa?”
Tanya Rina. “Itu….pulang bareng yuk?” Tanya Ihsan dengan gaya agak salah
tingkah.
“Hm…hm…hm….ada
yang pedekate tuh….” Seru Riska
dengan nada agak menyindir.
Ihsan jadi
semakin salah tingkah, mukanya tiba-tiba memerah. Rina hanya senyum-senyum
melihatnya. “Boleh” jawab Rina dengan sebuah senyuman.
“Kami pergi
aja ya….ntar ganggu lagi…..Dah.” Kata Riska dan Sonia serentak dan pergi
meninggalkan Rina dan Ihsan berdua.
“Loh…kok
gitu sih..” Seru Rina dengan agak berteriak. Namun Riska dan Sonia tidak
menghiraukannya. Rina dan Ihsan hanya bertatapan kemudian tertawa bersama.
Akhirnya mereka pun pulang bersama dan keduanya saling berbagi cerita. Senyum
Rina tak henti-hentinya tersungging di wajahnya yang cantik itu. Dia merasa
bahagia dapat membagi sedikit kepedihan hatinya kepada Ihsan, walaupun mereka
baru saja bertemu.
Sesampainya
di rumah, Rina langsung berbaring di tempat tidurnya. Sosok mama langsung
terbayang di dalam pikirannya. Walaupun dia baru saja menumpahkan semua
kesedihannya, namun kepedihan karena mamanya pergi belum bisa terobati. Sore
itu, Rina ingin menghubungi mamanya, namun tangannya susah untuk menekan tombol
call dalam handphone nya. Hatinya selalu berkata lakukanlah, namun tangannya
berkata jangan. Tapi ia segera menepis keraguannya dan menekan tombol call di handphone nya. “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada
di luar jangkauan, cobalah beberapa saat lagi.” Terdengar suara operator
menjawab keraguannya. Dia melempar handphone
nya sebagai pelampiasan kemarahannya.
Kemudian,
tanpa terasa pikirannya melambung jauh ke masa silam. Teringat akan masa-masa
yang dilaluinya bersama mamanya. Biasanya setiap berulang tahun, pasti mamanya
mengajaknya berjalan-jalan mengelilingi kota Jambi dan mengabulkan setiap
permintaannya. Dan yang paling berkesan baginya adalah di perkebunan teh di
kaki gunung Kerinci. Pada waktu itu, Rina menggigil kedinginan karena udara
dingin di sekitar perkebunan teh. Sampai-sampai tak sanggup lagi melakukan
apapun. Sekejap menggerakkan satu jari pun tak bisa. Hingga akhirnya, mamanya
datang mendekapnya dan memberikan pelukan terhangatnya sambil menyunggingkan
senyuman manisnya dan berkata, “Tenang sayang….Kamu tidak akan kenapa-kenapa….Ada
mama di sampingmu…Mama akan selalu menjadi malaikatmu di manapun kamu berada.
Jadi, jangan pernah takut, ya…Gunung ini akan menjadi saksi janji mama padamu.”
Di saat itulah Rina mengerti akan kasih sayang mamanya yang sangat dalam
kepadanya.
“Tapi,
kenapa ulang tahunku kali ini mama pergi meninggalkanku sendirian? Apakah mama
tidak sayang lagi padaku dan melupakan janjinya padaku karena aku berpenyakitan
atau mama sudah capek merawatku karena slalu menyusahkannya? Itu tidak mungkin.
Mama pasti masih sayang padaku.” Batinnya dalam hati dan tanpa terasa
bulir-bulir air pun menggenangi matanya. Karena kelelahan menangis, Rina pun
terlelap.
Keesokan
harinya, Rina terlambat bangun pagi. Rina pun buru-buru mandi dan sarapan.
Tidak sempat meminum obat dan membawa tisu, dia langsung lari menuju mobil.
Untung jalanan kota Jambi tidak macet seperti jalan di Jakarta, jadi Rina
sampai juga di sekolah walaupun gerbang hampir ditutup. Rina lari dan
tergesa-gesa menuju kelas. Dia tidak sadar sudah banyak darah yang bercucuran
dari hidungnya. Terpaksa dia menutupinya dengan tangannya. Tubuhnya sudah
sangat lelah dan rasanya ingin pingsan, namun Rina mencoba untuk tetap kuat.
Untungnya sampai di kelas guru jam pertama belum masuk, jadi Rina bisa langsung
duduk di bangkunya. Ihsan heran melihat darah yang sudah membanjiri tangan Rina
dan muka Rina yang sudah pucat. Tanpa pikir panjang, Ihsan langsung memberikan
sapu tangannya. Rina hanya bisa diam menerimanya. Ihsan ingin bertanya apa yang
terjadi, namun melihat kondisi Rina, dia mengurungkan niatnya. Dia khawatir
terjadi apa-apa pada Rina, sehingga selama jam pelajaran dia tidak bisa
konsentrasi.
Bel pulang
pun berbunyi. Saat Rina akan berdiri, tiba-tiba dia langsung jatuh dan pingsan.
Sontak Ihsan terkejut dan langsung menangkapnya. “Rina…Rina…..Kamu kenapa?”
Tanya Ihsan panik. Riska dan Sonia yang baru datang dan melihat Rina pingsan
langsung membantu Ihsan membawa Rina ke rumah sakit.
Di rumah
sakit umum Raden Matahir Jambi, Riska, Sonia, dan Ihsan tetap setia menunggu
Rina sampai sadar. Namun, sampai pukul 24.00 wib, Rina belum juga sadar. Karena
kelelahan, mereka pun tertidur. Namun, beberapa saat kemudian, tangan Rina
mulai bergerak dan perlahan-lahan ia membuka matanya. “Aku dimana?” Pikirnya
dalam hati. Kemudian dia memerhatikan sekelilingnya, “Kelihatannya Riska,
Sonia, dan Ihsan sangat kelelahan menjagaku. Tapi, kok mama belum juga datang.
Apa bibi belum beritahu ke mama kalau aku masuk rumah sakit?” Batinnya dalam
hati.
Karena
bosan, Rina pergi ke taman untuk menghibur dirinya walau dalam keadaan lemah.
Di dinginnya malam itu, suara jangkrik terdengar nyaring dan angin berhembus lembut
melambai-lambaikan jilbab yang ia kenakan.
Rina duduk
di sebuah kursi panjang dan mengeluarkan buku diarynya yang selalu ia bawa
kemanapun ia pergi. Dengan tangan yang agak gemetaran, pena pun mulai menari
dan tinta pun mulai tergores di atas kertas diarynya dengan perlahan.
Ya Allah
Jika memang inilah takdirku
Aku terima dengan ikhlas
Aku bahagia karena Engkau menitipkanku kepada malaikatmu
yang terbaik
Dan aku bahagia karena ia juga tidak melihat kepergianku
Mama
Terima kasih telah melahirkanku ke dunia
Terima kasih telah memberikan seluruh kasih sayangmu
kepadaku
Dan terima kasih karena mama tidak ada saat ini
Aku percaya mama tidak akan mengingkari janji mama
kepadaku
Teman-temanku
Terima kasih telah membuatku tersenyum dikala aku jauh
dari mamaku
Rina
Tanpa
sadar air matanya menetes membasahi kertas tersebut. Dengan sebuah senyuman,
Rina menarik nafas dalam-dalam dan kemudian menghembuskan nafas terakhirnya.
Keesokan
harinya, “Rina kemana?” Tanya Ihsan saat ia terbangun dari tidurnya dan sudah
tidak mendapati Rina di bangsalnya. Kemudian dia berlari keluar untuk mencari
Rina. Di koridor, di musholla, di ruangan lain, dan di ruangan dokter, dia
tidak menemukannya. Karena ngos-ngosan, Ihsan mencoba menormalkan jantungnya ke
taman. Tiba-tiba, pandangannya tertuju pada seorang gadis yang duduk di bangku
taman. Kelihatan seperti tidak asing lagi bagi Ihsan. Karena penasaran, Ihsan
pun mendekati gadis itu. Saat ia melihat wajah gadis itu, barulah ia sadar
ternyata itu adalah Rina.
“Rina,
ternyata kamu disini…untuk apa kamu duduk disini Rina?” Tanya Ihsan dengan ekspresi
sangat lega.
“Rina….Rina…”
Tanya Ihsan balik sambil mengguncang-guncang pundak Rina.
Namun, Rina
malah terjatuh ke tanah. Ihsan mulai panik. Dia pun mencoba meraba denyut nadi
Rina, namun ia tidak menemukan satupun yang berdetak. Akhirnya, Ihsan menggendong
Rina ke dalam rumah sakit.
Setelah
dokter memeriksa Rina, wajah dokter itu tiba-tiba berubah. Ihsan yang
melihatnya langsung bertanya.
“Dokter, apa
yang terjadi. Dia baik-baik saja, kan?”
“Maaf Nak,
kamu harus mengikhlaskannya. Temanmu sudah pergi menghadap-Nya.” Jawab dokter.
“Innaalillaahi
wa inna ilaihi raaji’un. Semoga kamu diterima di sisi-Nya sahabatku.” Sebut
Ihsan dengan mata yang berkaca-kaca.
Sore
harinya, pemakaman berlangsung dengan khidmat. Namun setelah pemakaman selesai,
barulah sosok yang sangat Rina rindukan datang dan terpaku di depan makam Rina.
Dengan air mata yang tak henti-hentinya membasahi pipinya yang mulai keriput
dan dengan mengepalkan kedua tangannya yang lemah, mama tak dapat membuka
mulutnya. Dia membungkam seakan bisu sambil memegang erat diary Rina. Tubuhnya
bergetar seakan dunia berguncang marah kepadanya. Barulah setelah beberapa
saat, kata-kat itu keluar dari mulutnya.
“Rina,
anakku sayang...Maafkan mama…Mama pergi bukan karena mama tidak sayang sama
Rina…Mama pergi untuk mencari obat kamu sayang…Mama tidak ingin kamu menahan
mama pergi karena ini demi kesembuhan anak mama….Mama menyayangimu, Nak…Mama
tidak pernah menyesal melahirkanmu, walaupun kamu berpenyakitan…Mama akan
selalu menepati janji mama untuk menjadi malaikatmu…Mudah-mudahan kamu tetap
tersenyum disana dan tidak membenci mama…” Sebut mama dengan terisak-isak sambil
memandangi gundukan tanah itu penuh penyesalan.
No comments:
Post a Comment