Mentari pagi mulai terasa hangat di pagi itu. Udara sejuk pedesaan yang
tidak menyesakkan pernafasan membuat semua penduduk desa menyunggingkan sebuah
senyuman atas karunia Allah kepada mereka yang tiada batasnya. Dia pun mulai
mengayuh sepedanya keluar dari rumah tuanya dengan membawa tas lusuh yang
selalu ia bawa ketika menemui kami. Namun hal tersebut tidak pernah sekalipun
mengusik semangatnya dalam mengemban amanah yang sangat mulia.
Setiap hari beliau harus menempuh jalan 5 km di bawah teriknya matahari
yang mulai memanggang punggungnya, sehingga keringat pun bercucuran melalui
kulitnya yang mulai keriput. Ketika beliau berangkat di bawah hangatnya
mentari, maka beliau sampai ke sekolahku di bawah teriknya matahari. Sehingga
beliau selalu terlambat 2 jam pelajaran pertama. Namun, setiap beliau terlambat
tak pernah beliau mendapat hukuman disiplin.
Hampir semua murid di sekolahku tidak menyukai beliau, termasuk aku. Aku
membenci beliau, namun beliau mengajar mata pelajaran yang paling aku sukai,
yaitu matematika. Aku tak pernah melihat beliau tersenyum barang sekalipun dan
perawakan mukanya sangat menyeramkan. Itulah salah satu penyebab kami tak
menyukainya. Dan juga, beliau tak pernah tidak serius dalam mengajar. Membuat
kami selalu takut ketika berhadapan dengan beliau, apalagi ketika kami telah
mendengar langkah kakinya menuju kelas kami, tidak ada satu orang pun yang
berani membuka pelajaran yang lain kecuali matematika.
Pernah suatu ketika, temanku mengerjakan PR biologi ketika pelajaran
matematika berlangsung. Tanpa basa-basi, beliau langsung merobek buku temanku
tersebut di depan matanya. Kemudian beliau melanjutkan mengajar tanpa
mengatakan apapun kepada temanku tersebut. Hal tersebut semakin membuatku
membencinya, sangat membencinya. Tapi, entah kenapa aku sangat tertarik untuk
mengetahui bagaimana kehidupan beliau yang sangat misterius tersebut. Akhirnya,
kuputuskan untuk mengikutinya sore harinya setelah pulang sekolah.
Kulihat beliau sudah menaiki sepeda tuanya, aku pun bergegas menaiki
sepedaku. Sudah jauh perjalanan, namun aku belum melihat beliau menghentikan
sepedanya. Matahari sudah bersemayam di ufuk barat, burung-burung membentuk
formasi terbang kembali ke sarang mereka, dan masjid-mesjid pun mengumandangkan
seruan untuk shalat. Aku melihat jam tanganku. Ternyata aku sudah bersepeda
selama satu jam lebih. “Apakah sejauh ini yang harus ditempuh beliau setiap
harinya?” tanyaku dalam hati sambil mengelap keringatku yang mulai membasahi
seragam putih abu-abuku.
Semakin lama mengayuh, tenagaku pun mulai berkurang. Lama-kelamaan, aku tak
sanggup lagi mengayuh dan penglihatanku pun mulai kabur. Dan akhirnya aku pun
bruuukk…..
Ketika aku membuka mataku, kulihat bayang-bayang wajah tua bapak itu
memandangku lekat-lekat dengan mata tajamnya. Aku terkejut dan terperanjat, “Kau
baik-baik saja, nak?” tanya beliau
dengan serius. “I….ya…Pak…” jawabku dengan nada ketakutan dan tidak berani
memandang mata beliau. “Kenapa kamu bisa sampai disini, nak?” Tanya beliau.
“Maafkan saya, pak. Saya mengikuti bapak karena saya penasaran tentang
kehidupan bapak.” Jawabku dengan menunduk. Beliau tersenyum dan berkata,
“Baiklah, bapak akan menceritakannya kepadamu”. Baru kali ini aku melihat
senyum tersungging di wajah beliau yang menakutkan itu.
“Bapak hidup seperti yang kamu lihat ini, nak. Serba berkekurangan. Bahkan,
gaji bapak saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga bapak.
Namun, yang tetap membuat bapak tetap tegar sampai sekarang ini adalah keluarga
bapak. Mereka adalah inspirasi hidup bapak. Mereka tidak pernah mengeluh atas
apa yang selama ini bapak berikan kepada mereka, mereka selalu menerima dengan
lapang dada. Bahkan, jika mereka tidak dapat sesuap nasi pun, mereka masih
dapat tersenyum.” Sebut beliau dan kulihat mata beliau mulai berkaca-kaca. Kemudian
beliau melanjutkan, “Jadi, anakku. Jangan pernah sia-siakan keluargamu,
patuhilah orangtuamu dan sayangilah saudaramu, karena tanpa kau sadari mereka
telah memberikan inspirasi terbesar dalam hidupmu.”
Keesokan harinya, semangatku pergi ke sekolah naik delapan puluh persen.
Aku menanti beliau di depan kelasku. Dan seperti yang kuduga, beliau muncul
setelah kurang lebih satu jam kemudian. Kulihat wajah beliau menunjukkan rasa
letih yang sangat dalam. Kemudian, tanpa kusadari beliau menatapku dan
menyungginkan sebuah senyuman yang sampai sekarang masih tersimpan dalam
memoriku.
Kesadaranku pun kembali ke jasadku lagi, karena sebentar lagi namaku akan
dipanggil sebagai mahasiswa terbaik dalam wisuda S1 ku ini. Hal yang tak pernah
kubayangkan sebelum aku bertemu dengan beliau. Ternyata, di balik kejamnya
hidup beliau, ada kebijaksanaan yang sangat tulus dalam
hati beliau yang takkan pernah kulupakan.
No comments:
Post a Comment