Friday, March 28, 2014

Cerpen Motivasi Di Balik Mata Tajamnya



Mentari pagi mulai terasa hangat di pagi itu. Udara sejuk pedesaan yang tidak menyesakkan pernafasan membuat semua penduduk desa menyunggingkan sebuah senyuman atas karunia Allah kepada mereka yang tiada batasnya. Dia pun mulai mengayuh sepedanya keluar dari rumah tuanya dengan membawa tas lusuh yang selalu ia bawa ketika menemui kami. Namun hal tersebut tidak pernah sekalipun mengusik semangatnya dalam mengemban amanah yang sangat mulia.
Setiap hari beliau harus menempuh jalan 5 km di bawah teriknya matahari yang mulai memanggang punggungnya, sehingga keringat pun bercucuran melalui kulitnya yang mulai keriput. Ketika beliau berangkat di bawah hangatnya mentari, maka beliau sampai ke sekolahku di bawah teriknya matahari. Sehingga beliau selalu terlambat 2 jam pelajaran pertama. Namun, setiap beliau terlambat tak pernah beliau mendapat hukuman disiplin.
Hampir semua murid di sekolahku tidak menyukai beliau, termasuk aku. Aku membenci beliau, namun beliau mengajar mata pelajaran yang paling aku sukai, yaitu matematika. Aku tak pernah melihat beliau tersenyum barang sekalipun dan perawakan mukanya sangat menyeramkan. Itulah salah satu penyebab kami tak menyukainya. Dan juga, beliau tak pernah tidak serius dalam mengajar. Membuat kami selalu takut ketika berhadapan dengan beliau, apalagi ketika kami telah mendengar langkah kakinya menuju kelas kami, tidak ada satu orang pun yang berani membuka pelajaran yang lain kecuali matematika.
Pernah suatu ketika, temanku mengerjakan PR biologi ketika pelajaran matematika berlangsung. Tanpa basa-basi, beliau langsung merobek buku temanku tersebut di depan matanya. Kemudian beliau melanjutkan mengajar tanpa mengatakan apapun kepada temanku tersebut. Hal tersebut semakin membuatku membencinya, sangat membencinya. Tapi, entah kenapa aku sangat tertarik untuk mengetahui bagaimana kehidupan beliau yang sangat misterius tersebut. Akhirnya, kuputuskan untuk mengikutinya sore harinya setelah pulang sekolah.
Kulihat beliau sudah menaiki sepeda tuanya, aku pun bergegas menaiki sepedaku. Sudah jauh perjalanan, namun aku belum melihat beliau menghentikan sepedanya. Matahari sudah bersemayam di ufuk barat, burung-burung membentuk formasi terbang kembali ke sarang mereka, dan masjid-mesjid pun mengumandangkan seruan untuk shalat. Aku melihat jam tanganku. Ternyata aku sudah bersepeda selama satu jam lebih. “Apakah sejauh ini yang harus ditempuh beliau setiap harinya?” tanyaku dalam hati sambil mengelap keringatku yang mulai membasahi seragam putih abu-abuku.
Semakin lama mengayuh, tenagaku pun mulai berkurang. Lama-kelamaan, aku tak sanggup lagi mengayuh dan penglihatanku pun mulai kabur. Dan akhirnya aku pun bruuukk…..
Ketika aku membuka mataku, kulihat bayang-bayang wajah tua bapak itu memandangku lekat-lekat dengan mata tajamnya. Aku terkejut dan terperanjat, “Kau baik-baik saja, nak?”  tanya beliau dengan serius. “I….ya…Pak…” jawabku dengan nada ketakutan dan tidak berani memandang mata beliau. “Kenapa kamu bisa sampai disini, nak?” Tanya beliau. “Maafkan saya, pak. Saya mengikuti bapak karena saya penasaran tentang kehidupan bapak.” Jawabku dengan menunduk. Beliau tersenyum dan berkata, “Baiklah, bapak akan menceritakannya kepadamu”. Baru kali ini aku melihat senyum tersungging di wajah beliau yang menakutkan itu.
“Bapak hidup seperti yang kamu lihat ini, nak. Serba berkekurangan. Bahkan, gaji bapak saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga bapak. Namun, yang tetap membuat bapak tetap tegar sampai sekarang ini adalah keluarga bapak. Mereka adalah inspirasi hidup bapak. Mereka tidak pernah mengeluh atas apa yang selama ini bapak berikan kepada mereka, mereka selalu menerima dengan lapang dada. Bahkan, jika mereka tidak dapat sesuap nasi pun, mereka masih dapat tersenyum.” Sebut beliau dan kulihat mata beliau mulai berkaca-kaca. Kemudian beliau melanjutkan, “Jadi, anakku. Jangan pernah sia-siakan keluargamu, patuhilah orangtuamu dan sayangilah saudaramu, karena tanpa kau sadari mereka telah memberikan inspirasi terbesar dalam hidupmu.”
Keesokan harinya, semangatku pergi ke sekolah naik delapan puluh persen. Aku menanti beliau di depan kelasku. Dan seperti yang kuduga, beliau muncul setelah kurang lebih satu jam kemudian. Kulihat wajah beliau menunjukkan rasa letih yang sangat dalam. Kemudian, tanpa kusadari beliau menatapku dan menyungginkan sebuah senyuman yang sampai sekarang masih tersimpan dalam memoriku.
Kesadaranku pun kembali ke jasadku lagi, karena sebentar lagi namaku akan dipanggil sebagai mahasiswa terbaik dalam wisuda S1 ku ini. Hal yang tak pernah kubayangkan sebelum aku bertemu dengan beliau. Ternyata, di balik kejamnya hidup beliau, ada kebijaksanaan yang sangat tulus dalam hati beliau yang takkan pernah kulupakan.

Cerpen Anak SMA Janji Sang Malaikat



Pagi yang cerah, udara sejuk Kota Jambi tanpa polusi berhembus lembut masuk ke dalam kamar Rina ketika ia membuka jendela kamarnya di lantai dua. Burung-burung berkicauan merdu, mentari pagi menambahkan hangat jiwanya yang bahagia karena hari ini adalah hari ulang tahunnya. Rina mencoba menghirup udara dalam-dalam kemudian menghembuskannya kembali. Dia bergegas menuju kamar mandi dengan girangnya sambil bersenandung. Setelah itu, dia segera mandi dan bersiap-siap pergi ke sekolah.
“Pagi, Non.  Selamat ulang tahun ya, Non.” Sambut bibi saat Rina duduk di meja makan.
”Makasih, Bi. Oh iya, mama sama papa dimana, Bi?” Tanya Rina dengan muka keheranan.
“Oh itu, Non. Nyonya sama Tuan sudah berangkat ke Malaysia tadi pagi. Trus, nitipin surat sama Nona.” Jawab Bibi.
Hati Rina yang tadinya sangat cerah langsung berubah menjadi kelam seperti awan yang mendung. Dia perlahan-lahan membuka surat tersebut.
Rina, selamat ulang tahun ya, Nak. Semoga panjang umur. Maaf, mama tidak bisa hadir dalam hari ulang tahunmu ini. Mohon Rina memakluminya. Dan jangan lupa untuk minum obatnya ya.
Salam cinta
     Mom
Hati Rina sangat teriris-iris saat membaca surat itu. Matanya berkaca-kaca. “Bisa-bisanya mama lebih mementingkan pekerjaan daripada aku.” Lirihnya dalam hati. Rina langsung merobek-robek surat itu dan berlari keluar rumah.
“Selamat pagi, Non.” Sapa Pak Jamal-supir yang sudah 10 tahun bekerja dengan papa rina.
“Langsung ke sekolah aja, Pak.’ Kata Rina dengan nada kesal.
Sesampainya di sekolah, Rina langsung disambut dua sahabatnya-Riska dan Sonia.
Happy Birthday, Rina.” Sambut mereka dengan membawa kue coklat yang besar.
Rina yang tadinya sangat terluka, kini sedikit terobati dengan adanya dua sahabatnya. “Terima kasih teman, karena kalian mewarnai hidupku yang singkat ini.” Batinnya dalam hati.
Rina sudah mengidap kanker selama dua tahun dan kata dokter hidupnya hanya tinggal beberapa bulan lagi. Namun, ia tetap optimis bahwa setiap masalah pasti ada jalan keluarnya.
Bel masuk pun berbunyi, anak-anak kelas XII IPA-1 segera masuk ke kelas. Kelas yang bisa dibilang executive ini tertata rapi, bersih, dan nyaman dilihat. Namun, di kelas inilah Rina menghabiskan sisa hidupnya yang singkat. Rina sebenarnya anak yang cantik dan pintar, namun karena dia mengidap leukemia badannya semakin kurus dan konsentrasi belajarnya kurang. Dia juga harus selalu membawa tisu ke kelas karena darah selalu bercucuran dari hidungnya dan itupun tidak tahu kenapa bisa terjadi.
Tidak terasa, bel istirahat pun berbunyi. Rina keluar kelas menuju mushalla di belakang sekolah. Sudah menjadi kebutuhannya melaksanakan shalat Dhuha. Rina sangat berharap keajaiban datang menghampirinya dan Allah memberikan kesempatan kedua untuk hidup baginya.
Waktu istirahat pun berakhir, Rina bergegas menuju kelasnya. Dengan muka heran Rina masuk ke kelas. Perlahan-lahan dia berjalan menuju bangkunya dan pandangannya terfokus pada sesosok wajah yang sangat asing baginya yang duduk di samping bangkunya. Wajahnya asing, namun sangat teduh dan menyejukkan hati. ”Siapakah dia?” Tanya Rina dalam hati. Sesampainya di depan bangku, dia menyapa Rina.
“Hai, perkenalkan nama saya Ihsan. Saya murid baru disini. Saya pindahan dari SMA 1 kota Jambi. Karena tidak ada bangku yang kosong lagi, saya duduk disini. Boleh, kan?” Tanyanya dengan senyum yang mengembang.
“Oh tentu, nama saya Rina.” Jawab Rina singkat.
Dan akhirnya pembicaraan mereka harus berakhir saat Miss Ratna masuk.
Pukul 13.00 wib, bel pulang berbunyi. Semua siswa SMA 3 kota Jambi berhamburan keluar kelas dengan wajah yang ceria. Tidak terkecuali Riska dan Sonia, mereka langsung menghampiri Rina yang baru keluar kelas.
“Hai, Rin. Kamu sebangku ya sama cowok pindahan itu?” Tanya Riska.
“Iya, memangnya kenapa?” Tanya Rina balik.
Riska dan Sonia sontak langsung menjerit. “Tau nggak, dia itu ganteng banget tau.” Sebut Sonia.
Rina hanya dapat tersenyum melihat tingkah dua sahabatnya itu.
“Rina…..” tiba-tiba seseorang memanggil Rina dari arah belakang. Rina menoleh, “Oh, Ihsan…ada apa?” Tanya Rina. “Itu….pulang bareng yuk?” Tanya Ihsan dengan gaya agak salah tingkah.
“Hm…hm…hm….ada yang pedekate tuh….” Seru Riska dengan nada agak menyindir.
Ihsan jadi semakin salah tingkah, mukanya tiba-tiba memerah. Rina hanya senyum-senyum melihatnya. “Boleh” jawab Rina dengan sebuah senyuman.
“Kami pergi aja ya….ntar ganggu lagi…..Dah.” Kata Riska dan Sonia serentak dan pergi meninggalkan Rina dan Ihsan berdua.
“Loh…kok gitu sih..” Seru Rina dengan agak berteriak. Namun Riska dan Sonia tidak menghiraukannya. Rina dan Ihsan hanya bertatapan kemudian tertawa bersama. Akhirnya mereka pun pulang bersama dan keduanya saling berbagi cerita. Senyum Rina tak henti-hentinya tersungging di wajahnya yang cantik itu. Dia merasa bahagia dapat membagi sedikit kepedihan hatinya kepada Ihsan, walaupun mereka baru saja bertemu.
Sesampainya di rumah, Rina langsung berbaring di tempat tidurnya. Sosok mama langsung terbayang di dalam pikirannya. Walaupun dia baru saja menumpahkan semua kesedihannya, namun kepedihan karena mamanya pergi belum bisa terobati. Sore itu, Rina ingin menghubungi mamanya, namun tangannya susah untuk menekan tombol call dalam handphone nya. Hatinya selalu berkata lakukanlah, namun tangannya berkata jangan. Tapi ia segera menepis keraguannya dan menekan tombol call di handphone nya. “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan, cobalah beberapa saat lagi.” Terdengar suara operator menjawab keraguannya. Dia melempar handphone nya sebagai pelampiasan kemarahannya.
Kemudian, tanpa terasa pikirannya melambung jauh ke masa silam. Teringat akan masa-masa yang dilaluinya bersama mamanya. Biasanya setiap berulang tahun, pasti mamanya mengajaknya berjalan-jalan mengelilingi kota Jambi dan mengabulkan setiap permintaannya. Dan yang paling berkesan baginya adalah di perkebunan teh di kaki gunung Kerinci. Pada waktu itu, Rina menggigil kedinginan karena udara dingin di sekitar perkebunan teh. Sampai-sampai tak sanggup lagi melakukan apapun. Sekejap menggerakkan satu jari pun tak bisa. Hingga akhirnya, mamanya datang mendekapnya dan memberikan pelukan terhangatnya sambil menyunggingkan senyuman manisnya dan berkata, “Tenang sayang….Kamu tidak akan kenapa-kenapa….Ada mama di sampingmu…Mama akan selalu menjadi malaikatmu di manapun kamu berada. Jadi, jangan pernah takut, ya…Gunung ini akan menjadi saksi janji mama padamu.” Di saat itulah Rina mengerti akan kasih sayang mamanya yang sangat dalam kepadanya.
“Tapi, kenapa ulang tahunku kali ini mama pergi meninggalkanku sendirian? Apakah mama tidak sayang lagi padaku dan melupakan janjinya padaku karena aku berpenyakitan atau mama sudah capek merawatku karena slalu menyusahkannya? Itu tidak mungkin. Mama pasti masih sayang padaku.” Batinnya dalam hati dan tanpa terasa bulir-bulir air pun menggenangi matanya. Karena kelelahan menangis, Rina pun terlelap.
Keesokan harinya, Rina terlambat bangun pagi. Rina pun buru-buru mandi dan sarapan. Tidak sempat meminum obat dan membawa tisu, dia langsung lari menuju mobil. Untung jalanan kota Jambi tidak macet seperti jalan di Jakarta, jadi Rina sampai juga di sekolah walaupun gerbang hampir ditutup. Rina lari dan tergesa-gesa menuju kelas. Dia tidak sadar sudah banyak darah yang bercucuran dari hidungnya. Terpaksa dia menutupinya dengan tangannya. Tubuhnya sudah sangat lelah dan rasanya ingin pingsan, namun Rina mencoba untuk tetap kuat. Untungnya sampai di kelas guru jam pertama belum masuk, jadi Rina bisa langsung duduk di bangkunya. Ihsan heran melihat darah yang sudah membanjiri tangan Rina dan muka Rina yang sudah pucat. Tanpa pikir panjang, Ihsan langsung memberikan sapu tangannya. Rina hanya bisa diam menerimanya. Ihsan ingin bertanya apa yang terjadi, namun melihat kondisi Rina, dia mengurungkan niatnya. Dia khawatir terjadi apa-apa pada Rina, sehingga selama jam pelajaran dia tidak bisa konsentrasi.
Bel pulang pun berbunyi. Saat Rina akan berdiri, tiba-tiba dia langsung jatuh dan pingsan. Sontak Ihsan terkejut dan langsung menangkapnya. “Rina…Rina…..Kamu kenapa?” Tanya Ihsan panik. Riska dan Sonia yang baru datang dan melihat Rina pingsan langsung membantu Ihsan membawa Rina ke rumah sakit.
Di rumah sakit umum Raden Matahir Jambi, Riska, Sonia, dan Ihsan tetap setia menunggu Rina sampai sadar. Namun, sampai pukul 24.00 wib, Rina belum juga sadar. Karena kelelahan, mereka pun tertidur. Namun, beberapa saat kemudian, tangan Rina mulai bergerak dan perlahan-lahan ia membuka matanya. “Aku dimana?” Pikirnya dalam hati. Kemudian dia memerhatikan sekelilingnya, “Kelihatannya Riska, Sonia, dan Ihsan sangat kelelahan menjagaku. Tapi, kok mama belum juga datang. Apa bibi belum beritahu ke mama kalau aku masuk rumah sakit?” Batinnya dalam hati.
Karena bosan, Rina pergi ke taman untuk menghibur dirinya walau dalam keadaan lemah. Di dinginnya malam itu, suara jangkrik terdengar nyaring dan angin berhembus lembut melambai-lambaikan jilbab yang ia kenakan.
Rina duduk di sebuah kursi panjang dan mengeluarkan buku diarynya yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi. Dengan tangan yang agak gemetaran, pena pun mulai menari dan tinta pun mulai tergores di atas kertas diarynya dengan perlahan.
Ya Allah
Jika memang inilah takdirku
Aku terima dengan ikhlas
Aku bahagia karena Engkau menitipkanku kepada malaikatmu yang terbaik
Dan aku bahagia karena ia juga tidak melihat kepergianku
Mama
Terima kasih telah melahirkanku ke dunia
Terima kasih telah memberikan seluruh kasih sayangmu kepadaku
Dan terima kasih karena mama tidak ada saat ini
Aku percaya mama tidak akan mengingkari janji mama kepadaku
Teman-temanku
Terima kasih telah membuatku tersenyum dikala aku jauh dari mamaku
Rina
  Tanpa sadar air matanya menetes membasahi kertas tersebut. Dengan sebuah senyuman, Rina menarik nafas dalam-dalam dan kemudian menghembuskan nafas terakhirnya.
Keesokan harinya, “Rina kemana?” Tanya Ihsan saat ia terbangun dari tidurnya dan sudah tidak mendapati Rina di bangsalnya. Kemudian dia berlari keluar untuk mencari Rina. Di koridor, di musholla, di ruangan lain, dan di ruangan dokter, dia tidak menemukannya. Karena ngos-ngosan, Ihsan mencoba menormalkan jantungnya ke taman. Tiba-tiba, pandangannya tertuju pada seorang gadis yang duduk di bangku taman. Kelihatan seperti tidak asing lagi bagi Ihsan. Karena penasaran, Ihsan pun mendekati gadis itu. Saat ia melihat wajah gadis itu, barulah ia sadar ternyata itu adalah Rina.
“Rina, ternyata kamu disini…untuk apa kamu duduk disini Rina?” Tanya Ihsan dengan ekspresi sangat lega.
“Rina….Rina…” Tanya Ihsan balik sambil mengguncang-guncang pundak Rina.
Namun, Rina malah terjatuh ke tanah. Ihsan mulai panik. Dia pun mencoba meraba denyut nadi Rina, namun ia tidak menemukan satupun yang berdetak. Akhirnya, Ihsan menggendong Rina ke dalam rumah sakit.
Setelah dokter memeriksa Rina, wajah dokter itu tiba-tiba berubah. Ihsan yang melihatnya langsung bertanya.
“Dokter, apa yang terjadi. Dia baik-baik saja, kan?”
“Maaf Nak, kamu harus mengikhlaskannya. Temanmu sudah pergi menghadap-Nya.” Jawab dokter.
“Innaalillaahi wa inna ilaihi raaji’un. Semoga kamu diterima di sisi-Nya sahabatku.” Sebut Ihsan dengan mata yang berkaca-kaca.
Sore harinya, pemakaman berlangsung dengan khidmat. Namun setelah pemakaman selesai, barulah sosok yang sangat Rina rindukan datang dan terpaku di depan makam Rina. Dengan air mata yang tak henti-hentinya membasahi pipinya yang mulai keriput dan dengan mengepalkan kedua tangannya yang lemah, mama tak dapat membuka mulutnya. Dia membungkam seakan bisu sambil memegang erat diary Rina. Tubuhnya bergetar seakan dunia berguncang marah kepadanya. Barulah setelah beberapa saat, kata-kat itu keluar dari mulutnya.
“Rina, anakku sayang...Maafkan mama…Mama pergi bukan karena mama tidak sayang sama Rina…Mama pergi untuk mencari obat kamu sayang…Mama tidak ingin kamu menahan mama pergi karena ini demi kesembuhan anak mama….Mama menyayangimu, Nak…Mama tidak pernah menyesal melahirkanmu, walaupun kamu berpenyakitan…Mama akan selalu menepati janji mama untuk menjadi malaikatmu…Mudah-mudahan kamu tetap tersenyum disana dan tidak membenci mama…” Sebut mama dengan terisak-isak sambil memandangi gundukan tanah itu penuh penyesalan.